Rabu, 27 Maret 2013
Pendewasaan Usia Perkawinan
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawianan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka dianjurkan untuk penundaan kelahiran anak pertama. Dengan menunda usia perkawinan, diharapkan para remaja lebih siap dalam memasuki rumah tangga dan membina keluarga yang lebih harmonis. Untuk melihat lebih lanjut tentang Materi Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) anda dapat membacanya langsung di Perpustakaan BKKBN Pusat atau link ke http://ceria.bkkbn.go.id/
Senin, 25 Maret 2013
PIK Remaja adalah...
PIK Remaja adalah suatu wadah kegiatan program PKBR (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi serta penyiapan kehidupan berkeluarga.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Masa remaja seperti ini oleh Bank Dunia disebut sebagai masa transisi kehidupan remaja. Transisi kehidupan remaja oleh Bank Dunia dibagi menjadi 5 hal (Youth Five Life Transitions). Transisi kehidupan yang dimaksud menurut Progress Report World Bank adalah:
Melanjutkan sekolah (continue learning)
Mencari pekerjaan (start working)
Memulai kehidupan berkeluarga (form families)
Menjadi anggota masyarakat (exercise citizenship)
Mempraktekkan hidup sehat (practice healthy life).
Program PKBR (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) yang dilaksanakan berkaitan dengan bidang kehidupan yang kelima dari transisi kehidupan remaja dimaksud, yakni mempraktekkan hidup secara sehat (practice healthy life). Empat bidang kehidupan lainnya yang akan dimasuki oleh remaja sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya remaja mempraktekkan kehidupan yang sehat. Dengan kata lain apabila remaja gagal berperilaku sehat, kemungkinan besar remaja yang bersangkutan akan gagal pada empat bidang
kehidupan yang lain.
Pengurus INSERT
Pembina INSERT : Zunnafiah, S.Pd
Kader (Konselor dan Pendidik
Sebaya)
Ketua : Robi Afrizan Saputra
Wakil Ketua : Alem Putra Arma
Sekretaris : Vinny Natasya Utari
Bendahara : Nadiyatul Fadhilla
Konselor Sebaya
:1. Novelia Prima 5.
Yordan Thezauza 9. Karina Saraswati
2. Riki Oktahendri 6. Sri Ayu Elsimaita 10. Randi Erika R
3. David Aldi 7.
Mifta Azelin Nuzulia
4. Harlina Pratiwi Hapsari 8. Syifa Fauziah
Pendidik Sebaya
: 1. Denada Betari Ayu 5. Retno
Dwi H 9. Aulia Putri Andiko
2.
Fauziah Rahmi 6. Hafzil
Adli 10. Winda Gusrianti
3. Anindi Cita Fiki 7. Dila Azania Hakim 11. Dora Pratama P
4.
Sagita Rahayu 8. Fahri
Shobi Firdaus 12. Hafizo
Pitri
Profil INSERT
PIK-R
SMA Negeri 1 Sijunjung berdiri pada bulan Juli 2003 yang berlokasi di gedung
SMA Negeri 1 Sijunjung yang beralamat di Jln M.Syafe’i No. Nagari Muaro,
Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Website SMA Negeri 1 Sijunjung adalah
www.smansasi.sch.id
dengan nomor telepon (0754) 20139 dan emailnya sma1_sijunjung@yahoo.co.id
sedangkan email dari PIK-R SMA Negeri 1 Sijunjung adalah pikremajasman1sijunjung@gmail.com dan blog dari PIK-R SMA Negeri 1 Sijunjung
adalah www.pikremajasman1sijunjung.blogspot.com
. Telah banyak rintangan yang dialami oleh
PIK-R SMA Negeri 1 Sijunjung mulai dari tahap Tumbuh, Tegak, hingga tahap
Tegar. PIK-R SMA Negeri 1 Sijunjung bernama INSERT yang berarti (Informasi
Seputar Remaja Terkini). Hingga periode 2012-2013 ini, INSERT telah mencapai
tahap Tegar. Ketua INSERT periode
sekarang adalah Robi Afrizan Saputra sebagaimana terlampir dalam struktur
organisasi PIK-R SMA Negeri 1 Sijunjung. Pembina INSERT adalah Zunnafiah, S.Pd.
INSERT telah memiliki ruang khusus di SMA Negeri 1 Sijunjung, tepatnya di
sebelah ruang Kepala Sekolah dan telah memiliki dua ruang konseling, telah
memiliki papan nama dan perpustakaan. Buku-buku yang telah ada diperpustakaan
sudah cukup lengkap seperti buku tentang TRIAD KRR (Seksualitas,
HIV/AIDS/NAPZA), Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), tentang keterampilan hidup
serta buku-buku penunjang lainya.
Kegiatan
telah berhasil dilaksanakan oleh INSERT antara lain Konseling Perseorangan,
Bimbingan Kelompok, Sosialisasi mengenai TRIAD KRR (Seksualitas, HIV/AIDS,
NAPZA) di kelas-kelas,dan kegiatan lainnya yang sangat bermanfaat. INSERT juga
telah memiliki SMS Hotline tempat bertanya atau konseling dengan menggunakan
Handphone yang dilatarbelakangi karena perkembangan zaman yang sangat cepat
pada saat sekarang ini. Nomor yang dapat dihubungi dalam SMS Hotline ini adalah
085274741733 (Zunnafiah/Pembina), 085263409141 (Robi Afrizan Saputra) ,
085272454952 (Alem Putra Arma) dan 085278947967 (Nadiyatul Fadhilla). INSERT
juga telah meraih berbagai prestasi mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi,
hingga Nasional. Prestasinya itu antara lain, Juara 1 PIK-R Tahap Tegar tingkat
Kabupaten, Juara 1 Lomba Kartu Cocok, Juara 1 Lomba yel-yel, Juara 1 Mading,
Juara 1 Monopoli GenRe, Juara 1 Cerdas Cermat dan Juara 1 Tanya Jawab yang
semua itu diraih di Tingkat Provinsi baik event yang diadakan oleh BKKBN dan
event yang diadakan oleh Pramuka Saka Kencana. INSERT juga telah pernah
mengirim salah satu pengurusnya ke Tingkat Nasional dalam bidang PMR ke
Gorontalo pada periode 2010-2011 dan prestasi lainnya. Pada periode sekarang
ini, INSERT memiliki 10 orang Konselor Sebaya dan 12 orang Pendidik Sebaya
dengan rincian Pendidikan Sebaya terlatih 9 orang, Pendidik Sebaya Tidak
Terlatih 3 orang, 7 orang Konselor Sebaya terlatih dan 3 orang Konselor Sebaya
tidak terlatih.
Jumat, 15 Maret 2013
Narkoba No , Prestasi Yes
Narkoba bukan lagi istilah asing karena istilah yang merupakan
kependekan dari narkotika dan obat – obat terlarang ini sangat sering
kita dengar. Tidak hanya itu, kita juga sudah tahu bahwa narkoba membawa
dampak yang sangat buruk bagi kehidupan pribadi dan sosial si pemakai
dan orang di sekitarnya.
Ironisnya narkoba sangat lekat dengan remaja (meskipun tidak sedikit dari pemakai merupakan orang – orang yang sudah berumur bahkan anak – anak) yang notabene generasi penerus bangsa. Bagaimana masa depan bangsa ini jika remajanya saja sudah teler-teler karena kecanduan narkoba. Untuk itu sudah saatnya remaja Indonesia bangkit dari kertepurukan karena penghambaan mereka kepada narkoba.
Sudah sejak lama, kita mendengar dan melihat bagaimana pemerintah dan beberapa masyarakat yang peduli berusaha untuk mengatasi dan menanggulangi masalah narkoba ini. Sampai – sampai dibentuk badan khusus yaitu BNN ( Badan Narkotika Nasional) untuk menangani masalah yang berkaitan dengan narkotika dan obat – obat terlarang, meskipun dari segi penamaan badan tersebut masih kurang tepat karena seolah-olah badan tersebut justru mendukung beredarnya narkotika di tanah air. Mungkin bisa diganti dengan Badan Anti-Narkotika Nasional atau Badan Penanggulangan Narkotika Nasional.
Selain itu, kita juga sering mendengar kata : “Katakan TIDAK pada Narkoba” yang sering didengungkan oleh duta anti-narkoba. Sebetulnya saya kurang setuju dengan istilah tersebut, karena ada beberapa duta anti-narkoba yang sering mendengungkan kata tersebut, tapi justru menjadi pemakai. Karena memang hanya “Katakan TIDAK” tanpa dibarengi dengan tindakan. Mudah saja bagi seseorang untuk berkata TIDAK, namun tanpa dibarengi niatan kuat untuk menjauhinya jadinya UUJ (Ujung-ujungnya jatuh juga). Untuk itu, mulai saat ini kita harus bisa mengubahnya dengan tidak hanya berkata namun juga dibarengi dengan tindakan karena ‘ Pake’ Narkoba bukan Pilihan Hidup
Ironisnya narkoba sangat lekat dengan remaja (meskipun tidak sedikit dari pemakai merupakan orang – orang yang sudah berumur bahkan anak – anak) yang notabene generasi penerus bangsa. Bagaimana masa depan bangsa ini jika remajanya saja sudah teler-teler karena kecanduan narkoba. Untuk itu sudah saatnya remaja Indonesia bangkit dari kertepurukan karena penghambaan mereka kepada narkoba.
Sudah sejak lama, kita mendengar dan melihat bagaimana pemerintah dan beberapa masyarakat yang peduli berusaha untuk mengatasi dan menanggulangi masalah narkoba ini. Sampai – sampai dibentuk badan khusus yaitu BNN ( Badan Narkotika Nasional) untuk menangani masalah yang berkaitan dengan narkotika dan obat – obat terlarang, meskipun dari segi penamaan badan tersebut masih kurang tepat karena seolah-olah badan tersebut justru mendukung beredarnya narkotika di tanah air. Mungkin bisa diganti dengan Badan Anti-Narkotika Nasional atau Badan Penanggulangan Narkotika Nasional.
Selain itu, kita juga sering mendengar kata : “Katakan TIDAK pada Narkoba” yang sering didengungkan oleh duta anti-narkoba. Sebetulnya saya kurang setuju dengan istilah tersebut, karena ada beberapa duta anti-narkoba yang sering mendengungkan kata tersebut, tapi justru menjadi pemakai. Karena memang hanya “Katakan TIDAK” tanpa dibarengi dengan tindakan. Mudah saja bagi seseorang untuk berkata TIDAK, namun tanpa dibarengi niatan kuat untuk menjauhinya jadinya UUJ (Ujung-ujungnya jatuh juga). Untuk itu, mulai saat ini kita harus bisa mengubahnya dengan tidak hanya berkata namun juga dibarengi dengan tindakan karena ‘ Pake’ Narkoba bukan Pilihan Hidup
Senin, 11 Maret 2013
Pengaruh Budaya Asing Pada Remaja
Seiring
dengan masuknya era globalisasi saat ini, turut mengiringi
budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia. Di zaman yang serba canggih
ini, perkembangan kemutahiran tekhnologi tidak dibarengi dengan
budaya-budaya asing positif yang masuk. Budaya asing masuk ke negeri
kita secara bebas tanpa ada filterisasi. Pada umumnya masyarakat
Indonesia terbuka dengan inovasi-inovasi yang hadir dalam kehidupannya,
tetapi mereka belum bisa memilah mana yang sesuai dengan aturan dan
norma yang berlaku dan mana yang tidak sesuai dengan aturan serta norma
yang berlaku di negara Republik Indonesia.
Negara
Indonesia mempunyai norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya,
norma tersebut meliputi norma agama, norma hukum, norma sosial, norma
kesopanan. Setiap butir norma memiliki peranan masing-masing dalam
mengatur hidup manusia. Norma merupakan suatu ketetapan yang ditetapkan
oleh manusia dan wajib dipatuhi oleh masyarakat dan memiliki manfaat
positif bagi kelangsungan hidup khalayak. Setiap peraturan yang telah
ditetapkan pasti ada sanksi bagi yang melanggar, hal itu serupa dengan
norma, apapun jenis norma ada di Indonesia, pasti ada sanksi bagi yang
melanggarnya.
Pada
umumnya masyarakat Indonesia sekarang seakan tidak menghiraukan lagi
norma-norma yang ditetapkan. Terbukti dengan banyaknya penyimpangan
prilaku yang dilakukan oleh banyak orang, seperti perbuatan korupsi,
mencuri, menistakan agama, dan sebagainya. Kasus-kasus seperti itu
menandakan bobroknya mental bangsa ini. Sehingga generasi muda yang
mendatang bisa diperkirakan dapat lebih buruk dari masa sekarang jika
mental mundur tersebut masih ditularkan pada kaum remaja saat ini.
Hal
tersebut sudah mulai terjadi sekarang, kenyataan yang terjadi saat ini
banyak remaja yang melakukan penyimpangan-penyimpangan yang sudah tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Mereka tidak
menghiraukan lagi norma-norma yang ada. Kemudahan mengakses budaya asing
serta kemudahan masuknya budaya asing tanpa ada filterisasi membuat
usia muda rawan tergoda dengan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya.
Seperti banyaknya blue film yang masuk ke Indonesia, permasalahan ini
sangat berdampak negatif bagi masyarakat khususnya kalangan remaja.
Banyak blue film atau adegan porno laiinya yang dapat diakses dengan
mudah melalui internet. Para remaja bebas mengakses dan menonton film
tersebut tanpa pengawasan dari pihak orang tua mereka. Hal tersebut
menimbulkan dampak yang kurang baik bagi psikis si remaja itu sendiri,
dengan menonton adegan porno, si remaja tersebut jadi termotivasi ingin
melakukan hal yang ia tonton dan ada sesuatu yang baru yang tidak
seharusnya di coba jadi ingin dicoba. Jika sudah seperti ini siapa yang
harus di salahkan? Permasalahan ini hanyalah satu contoh kasus yang
sekarang sering terjadi di IndonesiaKemandirian Pada Remaja
Menurut
Masrun kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk
bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan
bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi
lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari
usahanya.
Kemandirian
secara psikologis dan mentalis yaitu keadaan seseorang yang dalam
kehidupannya mampu memutuskan dan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan dari
orang lain. Kemampuan demikian hanya mungkin dimiliki jika seseorang
berkemampuan memikirkan dengan seksama tentang sesuatu yang
dikerjakannya atau diputuskannya, baik dalam segi-segi manfaat atau
keuntungannya, maupun segi-segi negatif dan kerugian yang akan
dialaminya. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar berhasil
sesuai keinginan dirinya maka diperlukan adanya kemandirian yang kuat.
Menurut
Brawer dalam Chabib Toha kemandirian adalah suatu perasaan otonomi,
sehingga pengertian perilaku mandiri adalah suatu kepercayaan diri
sendiri, dan perasaan otonomi diartikan sebagai perilaku yang terdapat
dalam diri seseorang yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam
tidak karena terpengaruh oleh orang lain.
Kemandirian
mempunyai ciri-ciri yang beragam, banyak dari para ahli yang
berpendapat mengenai ciri-ciri kemandirian. Menurut Gilmore dalam Chabib
Thoha merumuskan ciri kemandirian itu meliputi:
1. Ada rasa tanggung jawab.
2. Memiliki pertimbangan dalam menilai problem yang dihadapi secara intelegen.
3. Adanya perasaan aman bila memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain.
4. Adanya sikap kreatif sehingga menghasilkan ide yang berguna bagi orang lain.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian pada remaja menurut Masrun, yaitu:
1. Usia 2. Jenis kelamin
3. Konsep diri
4. Pendidikan
5. Keluarga
6. Interaksi sosial
Dalam
persoalan remaja dan kaum muda ini ternyata banyak sekali pihak-pihak
yang terlibat, karena sosok remaja itu hidup dalam konteks sosiabilitas
yang sangat luas. Namun sebagai remaja, keterkaitan yang kuat justru
harus tercipta dari hubungan remaja tersebut dengan orangtua atau
tokoh-tokoh otoritas dewasa lainnya. Hubungan inilah yang diharapkan
dalam kondisi sehat, terbuka, positif dan konstruktif, sehingga dapat
berfungsi sebagai tameng terhadap berbagai pengaruh negative yang ada
dalam masyarakat.
Sampai
hari ini, berbagai pihak termasuk media cetak, online, radio, televisi,
luar ruang dan bioskop banyak sekali mengupas sisi gelap dari kehidupan
dunia remaja ini. Dan tentunya hal ini tidak akan pernah tuntas, karena
dunia remaja memang dunia yang penuh gejolak, kecemasan, kebingungan,
yang justru merupakan suatu proses terpenting dalam tahap pendewasaan
seorang remaja. Dari banyaknya seminar mengenai situasi dunia remaja,
banyak sekali orangtua yang ternyata kurang (sampai tidak) mengertahui
secara persis apa yang sebenarnya terjadi pada anak remajanya, apakah
itu mengenai perasaan, keinginan, persoalan dan sampai pada pergaulan
mereka di luar. Banyak orang tua yang masih menganggap bahwa remaja
mereka itu masih merupakan anak kecil, sehingga masih terus harus
dituntun. Padahal mereka sudah memiliki kemampuan – walaupun masih dalam
taraf belajar - untuk bersikap mandiri, melakukan pilihan dan
memutuskan apa yang terbaik bagi mereka.
Selasa, 05 Maret 2013
Komponen Konseling
1. Konselor
Konselor adalah seseorang yang karena kewenangan dan keahliannya memberi bantuan kepada klien. Dalam konseling perorangan, konselor menjadi aktor yang secara aktif mengembangkan proses konseling untuk mencapai tujuan konseling sesuai dengan prinsip-prinsip dasar konseling. Dalam proses konseling, selain menggunakan media verbal, konselor dapat juga menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media pengembangan tingkah laku lainnya. Semua itu diupayakan konselor dengan cara-cara yang cermat dan tepat, demi terentaskannya masalah yang dialami klien.
Untuk mengelola konseling secara efektif, seorang konselor dituntut memiliki seperangkat sifat kepribadian dan keterampilan tertentu. Meskipun dalam tartaran konsep berkembangan pandangan yang bervariasi tentang konselor yang efektif, namun mereka mengakui bahwa karakteristik pribadi dan perilaku konselor kontributif bagi pembinaan relasi yang bermakna yang akan mendorong klien untuk berkembang. Beberapa kompetensi pribadi yang signifikan untuk dimiliki oleh konselor antara lain, pengetahuan yang baik tentang diri sendiri (self-konwledge), kompetens, kesehatan psikilogis yang baik, dapat dipercaya (trustworthtness), kejujuran, kekuatan atau daya (strength), kehangatan (warmth) pendengar yang aktif (active responsiveness), kesabaran, kepekaan (sensitivity), kebebasan, dan kesadaran holistik. Kompetensi tersebut akan mendorong konselor untuk menjadi pribadi terapetik, yang antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Memiliki gagasan yang jelas mengenai keyakinan tentang hidup, manusia, dan masalah-masalah, kesadaran dan pandangan yang tepat terhadap peranannya, dan tanpa syarat memandang dan merespons klien sebagai pribadi
2. Mampu mereduksi kecemasan, tidak tertekan, tidak menunjukan sikap bermusuhan, tidak membiarkan diri “menurun” kapasitanya.
3. Memiliki kemampuan untuk hadir bagi orang lain, yang berupa kerelaan untuk ikut mengambil bagian dengan orang lain dalam suka duka mereka, hal mana timbul dari keterbukaan konselor terhadap masalah dan perasaan sendiri, sehingga dia sanggup menghayati dan menunjukkan empati dengan kliennya.
4. Mengembangkan diri menjadi konselor yang otonom, melalui pengembangan gaya konseling yang sesuai dengan kepribadiannya sambil terbuka untuk belajar dari orang lain, dan mempelajari berbagai konsep dan teknik konseling, serta menerapkannya sesuai dengan konteks dan pribadinya.
5. Respek dan apresiatif terhadap diri sendiri, artinya konselor harus memiliki suatu rasa harga diri yang kuat yang meyanggupkannya berhubungan dengan orang lain atas dasar hal-hal yang positif dari klien.
6. Berorientasi untuk tumbuh dan berkembang, dalam pengertian berusaha untuk terbuka guna memperluas cakrawala wawasannya. Konselor tidak hanya merasa puas dengan apa yang ada dan berupaya mempertanyakan mutu eksistensinya, nilai-nilai, dan motivasinya, serta terus menerus berusaha memahami dirinya sendiri karena konselor hendak mendorong pemahaman diri itu dalam diri klien.
2. Klien
Klien adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau setidak-tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin disampaikan kepada orang lain. Klien menanggung semacam beban, uneg-uneg, atau mengalami suatu kekurangan yang ia ingin isi, atau ada sesuatu yang ia ingin dan/atau perlu dikembangkan pada dirinya. Melalui konseling, klien menginginkan agar ia mendapatkan suasana fikiran yang jernih dan/atau perasaan yang lebih nyaman, memperoleh nilai tambah, hidup yang lebih berarti, dan hal-hal positif lainnya dalam menjalani hidup sehari-hari dalam rangka kehidupan dirinya secara menyeluruh.
Klien datang dan bertemu konselor dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang datang sendiri dengan kemauan kuat untuk menemui konselor (self-referal), ada yang datang dengan perantara orang lain, bahkan ada yang datang (mungkin terpaksa) karena didorong atau diperintah oleh pihak lain. Kedatangan klien bertemu konselor disertasi dengan kondisi tertentu yang ada pada klien. Apapun latar belakang kedatangan klien dan bagaimanapun kondisi klien, harus disikapi, diperhatikan, diterima, dan dilayani sepenuhnya oleh konselor.
3. Konteks Hubungan Konselor-Klien
Dalam konseling, hubungan konselor dengan klien berada dalam konteks hubungan membantu (helping relationship), yaitu hubungan untuk meningkatkan pertumbuhan, kematangan, fungsi, dan cara menghadapi kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak klien.
Konselor adalah seseorang yang karena kewenangan dan keahliannya memberi bantuan kepada klien. Dalam konseling perorangan, konselor menjadi aktor yang secara aktif mengembangkan proses konseling untuk mencapai tujuan konseling sesuai dengan prinsip-prinsip dasar konseling. Dalam proses konseling, selain menggunakan media verbal, konselor dapat juga menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media pengembangan tingkah laku lainnya. Semua itu diupayakan konselor dengan cara-cara yang cermat dan tepat, demi terentaskannya masalah yang dialami klien.
Untuk mengelola konseling secara efektif, seorang konselor dituntut memiliki seperangkat sifat kepribadian dan keterampilan tertentu. Meskipun dalam tartaran konsep berkembangan pandangan yang bervariasi tentang konselor yang efektif, namun mereka mengakui bahwa karakteristik pribadi dan perilaku konselor kontributif bagi pembinaan relasi yang bermakna yang akan mendorong klien untuk berkembang. Beberapa kompetensi pribadi yang signifikan untuk dimiliki oleh konselor antara lain, pengetahuan yang baik tentang diri sendiri (self-konwledge), kompetens, kesehatan psikilogis yang baik, dapat dipercaya (trustworthtness), kejujuran, kekuatan atau daya (strength), kehangatan (warmth) pendengar yang aktif (active responsiveness), kesabaran, kepekaan (sensitivity), kebebasan, dan kesadaran holistik. Kompetensi tersebut akan mendorong konselor untuk menjadi pribadi terapetik, yang antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Memiliki gagasan yang jelas mengenai keyakinan tentang hidup, manusia, dan masalah-masalah, kesadaran dan pandangan yang tepat terhadap peranannya, dan tanpa syarat memandang dan merespons klien sebagai pribadi
2. Mampu mereduksi kecemasan, tidak tertekan, tidak menunjukan sikap bermusuhan, tidak membiarkan diri “menurun” kapasitanya.
3. Memiliki kemampuan untuk hadir bagi orang lain, yang berupa kerelaan untuk ikut mengambil bagian dengan orang lain dalam suka duka mereka, hal mana timbul dari keterbukaan konselor terhadap masalah dan perasaan sendiri, sehingga dia sanggup menghayati dan menunjukkan empati dengan kliennya.
4. Mengembangkan diri menjadi konselor yang otonom, melalui pengembangan gaya konseling yang sesuai dengan kepribadiannya sambil terbuka untuk belajar dari orang lain, dan mempelajari berbagai konsep dan teknik konseling, serta menerapkannya sesuai dengan konteks dan pribadinya.
5. Respek dan apresiatif terhadap diri sendiri, artinya konselor harus memiliki suatu rasa harga diri yang kuat yang meyanggupkannya berhubungan dengan orang lain atas dasar hal-hal yang positif dari klien.
6. Berorientasi untuk tumbuh dan berkembang, dalam pengertian berusaha untuk terbuka guna memperluas cakrawala wawasannya. Konselor tidak hanya merasa puas dengan apa yang ada dan berupaya mempertanyakan mutu eksistensinya, nilai-nilai, dan motivasinya, serta terus menerus berusaha memahami dirinya sendiri karena konselor hendak mendorong pemahaman diri itu dalam diri klien.
2. Klien
Klien adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau setidak-tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin disampaikan kepada orang lain. Klien menanggung semacam beban, uneg-uneg, atau mengalami suatu kekurangan yang ia ingin isi, atau ada sesuatu yang ia ingin dan/atau perlu dikembangkan pada dirinya. Melalui konseling, klien menginginkan agar ia mendapatkan suasana fikiran yang jernih dan/atau perasaan yang lebih nyaman, memperoleh nilai tambah, hidup yang lebih berarti, dan hal-hal positif lainnya dalam menjalani hidup sehari-hari dalam rangka kehidupan dirinya secara menyeluruh.
Klien datang dan bertemu konselor dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang datang sendiri dengan kemauan kuat untuk menemui konselor (self-referal), ada yang datang dengan perantara orang lain, bahkan ada yang datang (mungkin terpaksa) karena didorong atau diperintah oleh pihak lain. Kedatangan klien bertemu konselor disertasi dengan kondisi tertentu yang ada pada klien. Apapun latar belakang kedatangan klien dan bagaimanapun kondisi klien, harus disikapi, diperhatikan, diterima, dan dilayani sepenuhnya oleh konselor.
3. Konteks Hubungan Konselor-Klien
Dalam konseling, hubungan konselor dengan klien berada dalam konteks hubungan membantu (helping relationship), yaitu hubungan untuk meningkatkan pertumbuhan, kematangan, fungsi, dan cara menghadapi kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak klien.
ASAS KONSELING
Kekhasan yang paling mendasar pelayanan konseling adalah hubungan
interpersonal yang amat intens antara klien dan Konselor. Hubungan ini
benar-benar sangat mempribadi, sehingga boleh dikatakan antara kedua
pribadi itu “saling masuk-memasuki”. Konselor memasuki pribadi klien dan
klien memasuki pribadi Konselor. Proses layanan konseling dikembangkan
sejalan dengan suasana yang demikian, sambil di dalamnya dibangun
kemampuan khusus klien untuk keperluan kehidupannya. Asas-asas konseling
memperlancar proses dan memperkuat bangunan yang ada di dalamnya.
1. Asas Kerahasiaan
Tidak pelak lagi, hubungan interpersonal yang amat intens sanggup membongkar berbagai isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama pada sisi klien. Untuk ini asas kerahasiaan menjadi jaminannya. Segenap rahasia klien yang terbongkar menjadi tanggung jawab penuh Konselor untuk melindunginya. Keyakinan klien akan adanya perlindungan yang demikian ini menjadi jaminan untuk suksesnya pelayanan.
2. Asas Kesukarelaan dan Keterbukaan
Kesukarelaan penuh klien untuk menjalani proses pelayanan konseling bersama Konselor menjadi buah dari terjaminnya kerahasiaan pribadi klien. Dengan demikian kerahasiaan-kesukarelaan menjadi unsur dwi-tunggal yang mengantarkan klien ke arena proses pelayanan konseling. Asas kerahasiaan-kesukarelaan akan menghasilkan keterbukaan klien. Klien self-referral pada awalnya dalam kondisi sukarela untuk bertemu dengan Konselor. Kesukarelaan awal ini harus dipupuk dan dikuatkan. Apabila penguatan kesukarelaan awal ini gagal dilaksanakan maka keterbukaan tidak akan terjadi dan kelangsungan proses layanan terancam kegagalan. Menghadapi klien yang non-self-referral tugas Konselor menjadi lebih berat, khususnya dalam mengembangkan kesukarelaan dan keterbukaan klien. Dalam hal ini, seberat
apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan klien. Dalam hal ini, seberat apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan itu harus dilakukan Konselor, apabila proses
konseling hendak dihidupkan.
3. Asas Keputusan Diambil oleh Klien Sendiri
Inilah asas yang secara langsung menunjang kemandirian klien. Berkat rangsangan dan dorongan Konselor agar klien berfikir, menganalisis, menilai, dan menyimpulkan sendiri; mempersepsi, merasakan dan bersikap sendiri atas apa yang ada pada diri sendiri dan lingkungannya; akhirnya klien mampu mengambil keputusan sendiri berikut menanggung resiko yang mungkin ada sebagai akibat keputusan tersebut. Dalam hal ini Konselor tidak memberikan syarat apapun untuk diambilnya keputusan oleh klien; tidak mendesak-desak atau mengarahkan sesuatu; begitu juga tidak memberikan semacam persetujuan ataupun konfirmasi atas sesuatu yang dikehendaki klien, meskipun klien memintanya. Konselor dengan tegas “membiarkan” klien tegak dengan sendirinya menghadapi tantangan yang ada. Dalam hal ini
bantuan yang tidak putus-putusnya diupayakan Konselor adalah memberikan semangat (dalam arah “kamu pasti bisa”) dan meneguhkan hasrat, memperkaya informasi, wawasan dan persepsi, memperkuat analisis atas antagonisme ataupun kontradiksi yang terjadi. Dalam hal ini suasana yang “memfrustasikan klien” dan sikap “tiada maaf” merupakan caracara spesifik untuk membuat klien lebih tajam, kuat dan tegas dalam melihat dan menghadapi tantangan.
4. Asas Kekinian dan Kegiatan
Asas kekinian diterapkan sejak paling awal Konselor bertemu klien. Dengan nuansa kekinianlah segenap proses layanan dikembangkan, dan atas dasar kekinian pulalah kegiatan klien dalam layanan dijalankan. Klien dituntut untuk benar-benar aktif menjalani proses perbantuan melalui pelayanan konseling, dari awal dan selama proses layanan, sampai pada periode pasca layanan. Tanpa keseriusan dalam aktivitas yang dimaksudkan itu dikhawatirkan
perolehan klien akan sangat terbatas, atau keseluruhan proses layanan itu menjadi sia-sia.
5. Asas Kenormatifan dan Keahlian
Segenap aspek teknis dan isi pelayanan konseling adalah normatif; tidak ada satupun yang boleh terlepas dari kaidahkaidah norma yang berlaku, baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan. Klien dan Konselor terikat sepenuhnya oleh nilai-nilai dan norma yang berlaku. Sebagai ahli dalam pelayanan konseling, Konselor mencurahkan keahlian profesionalnya dalam pengembangan pelayanan konseling untuk kepentingan klien dengan menerapkan segenap asas tersebut di atas. Keahlian Konselor itu diterapkan dalam suasana normatif terhadap klien yang sukarela, terbuka, aktif agar klien mampu mengambil keputusan
sendiri. Seluruh kegiatan itu bernuansa kekinian dan rahasia pribadi sepenuhnya dirahasiakan.
1. Asas Kerahasiaan
Tidak pelak lagi, hubungan interpersonal yang amat intens sanggup membongkar berbagai isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama pada sisi klien. Untuk ini asas kerahasiaan menjadi jaminannya. Segenap rahasia klien yang terbongkar menjadi tanggung jawab penuh Konselor untuk melindunginya. Keyakinan klien akan adanya perlindungan yang demikian ini menjadi jaminan untuk suksesnya pelayanan.
2. Asas Kesukarelaan dan Keterbukaan
Kesukarelaan penuh klien untuk menjalani proses pelayanan konseling bersama Konselor menjadi buah dari terjaminnya kerahasiaan pribadi klien. Dengan demikian kerahasiaan-kesukarelaan menjadi unsur dwi-tunggal yang mengantarkan klien ke arena proses pelayanan konseling. Asas kerahasiaan-kesukarelaan akan menghasilkan keterbukaan klien. Klien self-referral pada awalnya dalam kondisi sukarela untuk bertemu dengan Konselor. Kesukarelaan awal ini harus dipupuk dan dikuatkan. Apabila penguatan kesukarelaan awal ini gagal dilaksanakan maka keterbukaan tidak akan terjadi dan kelangsungan proses layanan terancam kegagalan. Menghadapi klien yang non-self-referral tugas Konselor menjadi lebih berat, khususnya dalam mengembangkan kesukarelaan dan keterbukaan klien. Dalam hal ini, seberat
apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan klien. Dalam hal ini, seberat apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan itu harus dilakukan Konselor, apabila proses
konseling hendak dihidupkan.
3. Asas Keputusan Diambil oleh Klien Sendiri
Inilah asas yang secara langsung menunjang kemandirian klien. Berkat rangsangan dan dorongan Konselor agar klien berfikir, menganalisis, menilai, dan menyimpulkan sendiri; mempersepsi, merasakan dan bersikap sendiri atas apa yang ada pada diri sendiri dan lingkungannya; akhirnya klien mampu mengambil keputusan sendiri berikut menanggung resiko yang mungkin ada sebagai akibat keputusan tersebut. Dalam hal ini Konselor tidak memberikan syarat apapun untuk diambilnya keputusan oleh klien; tidak mendesak-desak atau mengarahkan sesuatu; begitu juga tidak memberikan semacam persetujuan ataupun konfirmasi atas sesuatu yang dikehendaki klien, meskipun klien memintanya. Konselor dengan tegas “membiarkan” klien tegak dengan sendirinya menghadapi tantangan yang ada. Dalam hal ini
bantuan yang tidak putus-putusnya diupayakan Konselor adalah memberikan semangat (dalam arah “kamu pasti bisa”) dan meneguhkan hasrat, memperkaya informasi, wawasan dan persepsi, memperkuat analisis atas antagonisme ataupun kontradiksi yang terjadi. Dalam hal ini suasana yang “memfrustasikan klien” dan sikap “tiada maaf” merupakan caracara spesifik untuk membuat klien lebih tajam, kuat dan tegas dalam melihat dan menghadapi tantangan.
4. Asas Kekinian dan Kegiatan
Asas kekinian diterapkan sejak paling awal Konselor bertemu klien. Dengan nuansa kekinianlah segenap proses layanan dikembangkan, dan atas dasar kekinian pulalah kegiatan klien dalam layanan dijalankan. Klien dituntut untuk benar-benar aktif menjalani proses perbantuan melalui pelayanan konseling, dari awal dan selama proses layanan, sampai pada periode pasca layanan. Tanpa keseriusan dalam aktivitas yang dimaksudkan itu dikhawatirkan
perolehan klien akan sangat terbatas, atau keseluruhan proses layanan itu menjadi sia-sia.
5. Asas Kenormatifan dan Keahlian
Segenap aspek teknis dan isi pelayanan konseling adalah normatif; tidak ada satupun yang boleh terlepas dari kaidahkaidah norma yang berlaku, baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan. Klien dan Konselor terikat sepenuhnya oleh nilai-nilai dan norma yang berlaku. Sebagai ahli dalam pelayanan konseling, Konselor mencurahkan keahlian profesionalnya dalam pengembangan pelayanan konseling untuk kepentingan klien dengan menerapkan segenap asas tersebut di atas. Keahlian Konselor itu diterapkan dalam suasana normatif terhadap klien yang sukarela, terbuka, aktif agar klien mampu mengambil keputusan
sendiri. Seluruh kegiatan itu bernuansa kekinian dan rahasia pribadi sepenuhnya dirahasiakan.
Tujuan Konseling Kelompok
BEBERAPA CONTOH TUJUAN KONSELINGKELOMPOK
1 Menjadi lebih terbuka dan jujur terhadap diri sendiri dan orang lain
2 Belajar mempercayai diri sendiri dan orang lain
3 Berkembang untuk lebih menerima diri sendiri
4 Belajar berkomunikasi dengan orang lain
5 Belajar untuk lebih akrab dengan orang lain
6 Belajar untuk bergaul dengan sesama atau lawan jenis
7 Belajar untuk memberi dan menerima
8 Menjadi peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain
9 Meningkatkan kesadaran diri, sehingga akan merasa lebih bebas dan tegas dalam memilih
Langganan:
Postingan (Atom)